Ajarannya, yakni 'tut wuri handayani ing madya mangun karsa ing ngarsa sungtulada' akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia.
Oleh: Aska Assabila
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889, beliau diberi nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.
Ki Hadjar Dewantara
dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta.
* * *
Masa Kecil Ki Hadjar Dewantara
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten Pakualaman. Ia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Ia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School. Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal dari Eropa.
Ia sempat melanjukan
pendidikan kedokteran di STOVIA. Namun, ia tidak menamatkannya karena kondisi
kesehatan yang buruk.
Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat
itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya.
Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Aktivitas Pergerakan
Ki Hadjar Dewantara
Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di
seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian,
bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo
yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara
mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme
Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka.
Mereka semua berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda.
Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan kesatuan
rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Semangatnya
tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara
membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap
Pemerintah Belanda.
Salah satunya
adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was
(Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een
(Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut
menjadi tulisan terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang
Belanda dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki Hadjar Dewantara.
Douwes Dekker dan
Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil
menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara.
Mengetahui hal
ini, Belanda pun memutuskan untuk menjatuhi hukuman pengasingan bagi keduanya.
Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke
pulau Banda.
Namun mereka
menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari
banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki
Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki
Hadjar Dewantara kembali ke tanah air.
Taman Siswa
Ki Hadjar Dewantara
Di tanah air Ki Hadjar Dewantara semakin mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Bersama rekan-rekan
seperjuangannya, dia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional
yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional
Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan
Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Selama mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa
politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional
bagi bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini terus berlangsung hingga zaman
Pendudukan Jepang.
Ki Hadjar
Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar
Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa
dari Universitas Gajah Mada.
Wafatnya Ki Hadjar Dewantara
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta.
Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959.
Upacara pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak
sebagai inspektur upacara.
Ajaran Ki Hadjar Dewantara
Kini, nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.
Ajarannya yakni
tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun
karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtulada (di depan memberi teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan
di Indonesia.
Referensi:
- https://www.merdeka.com/ki-hadjar-dewantoro/profil, diakses pada 30 April 2023.
- https://www.gramedia.com/best-seller/biografi-ki-hajar-dewantara/, diakses pada 30 April 2023.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara, diakses pada 30 April 2023.
0 Komentar